Minggu, 16 November 2008

Membaca Ulang Sejarah, Meretas Kebangkitan Modern

Membaca Ulang Sejarah

Sejarah kejayaan dan kejatuhan peradaban bangsa-bangsa dipergilirkan. Peradaban besar menemui masa keemasan masing-masing. Satu sama lain saling menyerang dan memperluas wilayah pengaruh, penaklukan bangsa lain adalah bagian dari kejayaan itu sendiri. Kejayaan dan kekuasaan itu tidak given melainkan harus diperjuangkan. Zero Sum Game, hasrat saling mengalahkan menjadi hukum dasar kekuasaan.
Dalam kitab suci Al Qur’an banyak dikisahkan jatuh bangunnya peradaban, yang menandakan ketidakberdayaan manusia mempertahankan keabadian kekuasaan. Kejatuhan peradaban terbaik sekalipun adalah kepastian yang sudah menjadi sunnatullah pergiliran kekuasaan. Penyebab keruntuhan peradaban terjadi karena berbagai sebab, misalnya karena ditaklukkan musuh, kejadian alam seperti perubahan iklim, bencana banjir, wabah penyakit dan lainnya, maupun oleh perilaku menyimpang kaum dan penguasanya sendiri.
Sejarah nabi-nabi pun diwarnai dengan perjuangan meraih kekuasaan dan penaklukan. Kita paham bahwa motifnya adalah untuk lebih memperluas ruang menyebarkan kebajikan kepada umat berdasarkan pesan Tuhan. Kisah Daud As, Musa As, Yusuf As, dan Muhammad SAW memberikan contoh yang berbeda dalam metode perjuangan meraih kekuasaan menurut tuntutan keadaan saat itu.

Kita membaca sejarah kejayaan peradaban Yunani, Romawi, Islam, Persi, Tiongkok, Asia Timur, India, Eropa, lalu saat ini Amerika yang disebut-sebut sebagai imperium abad modern. Samuel Huntington sendiri sebagai seorang intelektual barat yang menceritakan dalam bukunya The Clash of Civilization tentang pertarungan tujuh peradaban besar yang akhirnya dimenangkan oleh kapitalisme global yang diwakili Amerika dan negara Eropa. Hipotesa Huntington menyebutkan penantang sengit peradaban kapitalisme di barat adalah Islam. Analisis benturan antar peradaban juga diwakili peradaban Konfusianisme (China), peradaban Hindu (India), peradaban Asia Timur (Jepang dan Korea), maupun peradaban Animisme (sebagian Afrika), dan lainnya. Barangkali Huntington lupa menghitung peradaban Persi (yang kini diwakili Iran) yang pernah berjaya selama lebih dari 30 abad.
Di abad modern yang ditandai dengan penggunaan teknologi dan sistem informasi dalam merebut dominasi peradaban, hasrat mendominasi semakin tinggi. Perang Dunia pertama dan kedua membunuh jutaan umat manusia, puluhan juta lainnya diperbudak dan terusir dari negerinya. Ujung perang dunia kedua mendorong penggunaan teknologi nuklir dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki Jepang.

Perang terus berlanjut dalam bentuk perang dingin (cold war) yang ditandai dengan perlombaan senjata dan nuklir, penguatan intelijen, penguasaan energi dunia, proteksi pangan. Lalu dunia dijebak dalam pembagian blok antara Amerika dan sekutunya di barat dan Uni Soviet bersama sekutunya di blok timur. Siapakah yang mengatakan Uni Soviet mewakili timur?
Sejarah ekonomi politik merupakan sejarah panjang jatuh bangun dan pertarungan antar bangsa merebut kekuasaan dunia dan merebut sumber kekayaannya. Sejak model kuno merkantilisme hingga model mutakhir neoliberalisme. Spanyol dan Inggris di abad pertengahan berlomba mencari benua baru untuk mencari kekayaan alam, seperti batu mulia dan rempah-rempah, serta lahan baru untuk pangan dan sandang, yang kemudian ini disebut merkantilisme. Adam Smith yang memulai teori kapital yang kemudian menjadi rujukan kapitalisme hingga mencapai kejayaannya ditandai lahirnya revolusi industri di Inggris. Karl Marx membantah kapitalisme dengan teori sosialis komunisme, yang kemudian menjadi pedoman awal ekonomi sosialis hingga kemudian menemukan kebesarannya ditandai terjadinya revolusi Bolsevijk yang mendorong lahirnya negara Uni Soviet.

Saat terjadi depresi global yang meluas di Amerika dan negara-negara Eropa (the great depression) barulah disadari bahwa perlu suatu pandangan makro atas berbagai peristiwa sosial ekonomi, yang kemudian mendorong lahirnya ekonomi makro, pelopor pemikirannya adalah Maynard Keynes yang melahirkan aliran Keynesian. Pemikiran ekonomi politik terus mengalami evolusi dan saling melengkapi dalam tataran pengambilan kebijakan ekonomi dan politik suatu negara (mix policy).
Hanya saja, hasrat mendominasi dan berkuasa adalah kebutuhan tersendiri dari bangsa-bangsa di dunia. Atas nama ideologi, agama, faktor sejarah, suku bangsa, dan budaya, para penguasa bangsa sering mengobarkan semangat agresi menginvasi bangsa lain, yang dengan mudah diterima mentah-mentah oleh rakyatnya. Padahal itu semua dilandasi oleh keserakahan menguasai bangsa yang lemah tetapi kaya dengan energi, pangan dan kekayaan alam lainnya. Persis kembali ke zaman merkantilisme, ketika kerajaan Eropa seperti Spanyol, Inggris dan Portugal mengirim pasukannya mencari rempah-rempah dan sumber alam di benua Asia dan Afrika sambil menjajah rakyat setempat.

Meskipun kita juga memahami, sejarah Asia sendiri bukanlah sepenuhnya sebagai objek penjajahan dan perbudakan, kita tahu bagaimana kejayaan peradaban yang indah dari Delhi, Beijing hingga Istanbul. Selepas kejatuhan Roma, peradaban di Asia menemukan masa kejayaan ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan penyebaran pandangan keagamaan, seperti gerakan penyebaran Budhisme di Tibet maupun Islam di Asia Tenggara.
Indonesia adalah salah satu negeri objek merkantilisme sejak dulu. Malapetaka sejarah dimulai saat VOC (Vereenigde Oost-Indishe Compagnie) Belanda mampu menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun sejak abad ke-17. Mereka menjarah kekayaan alam dan melakukan politik adu domba antara raja-raja setempat (devide et impera), dengan berpura-pura membela yang satu dan memusuhi yang lain, dan hasilnya penjajah tetap keluar sebagai pemenang. VOC kemudian bangkrut dan meninggalkan utang dalam jumlah besar. Seiring bergulirnya perang dunia kedua, pasukan Belanda meninggalkan Indonesia digantikan penjajahan Jepang.
Berakhirnya perang dunia kedua akibat kekalahan Jepang dari sekutu pada 1945 mendorong pemuda mendesak elit politik agar memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Soekarno Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dengan wilayah yang meliputi semua bekas jajahan Belanda. Bahkan di saat sudah merdeka pun Belanda masih tetap ingin kembali menjajah negeri ini dengan melakukan agresi hingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan hingga 1949, bahkan Irian Barat hingga tetap dicaplok dan baru direbut pada 1964.

Presiden Soekarno memulai pemerintahan dengan utang yang ditinggalkan Belanda milyaran dollar AS. Padahal seharusnya penjajah yang harus memberikan kompensasi atas penindasan yang dilakukan selama ratusan tahun pada rakyat Indonesia. Akibatnya pemerintah tidak memiliki cukup sumber daya untuk membangun, dan rakyat kekurangan pangan. Pemerintah mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk pembangunan infrastruktur seperti gedung parlemen (DPR) dan gelanggang olahraga di senayan, monas dan masjid Istiqlal, akibatnya inflasi tidak terkendali mencapai 700 persen. Soekarno melakukan mobilisasi nasionalisme dengan slogan ‘ganyang Malaysia’. Namun situasi tetap tidak terkendali, rakyat tidak puas dan pemberontakan terjadi di berbagai daerah. hingga terjadilah peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru pada 1965 berdasarkan Supersemar.
Orde baru dengan harapan baru rakyat tentu juga semangat baru. Pembangunan di setiap sektor, terutama infrastruktur dan ketahanan pangan (swasembada pangan). Situasi yang kemudian dimanfaatkan asing untuk mencengkeram perekonomian Indonesia. Pada tahun 1974 dan 1978 terjadi gerakan mahasiswa dan amuk massa menolak barang-barang asing terutama milik Jepang di Indonesia, mobil dan alat elektronik buatan Jepang dibakar. Pada tahun 80an terjadi kontrak karya jangka panjang antara pemerintah dan pihak Freeport untuk mengelola tambang emas di Papua, selanjutnya perusahaan tambang dan korporasi internasional (Multinational Corporate) menguasai sektor migas dan non migas negeri ini. Penjajahan ekonomi kembali terjadi, rakyat tidak merasakan kesejahteraan di negerinya yang berlimpah kekayaan alam.

Kenyataannya, tidak hanya di zaman orde baru, di orde reformasi kita menyaksikan aset negara (BUMN) seperti Indosat dijual, bank-bank dijual, tambang dikuasai asing bahkan kontraknya diperpanjang, kejahatan besar perbankan terjadi lewat BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Sehingga negeri kita mengalami krisis yang amat parah dalam berbagai dimensi seperti krisis energi, krisis pangan, krisis infrastruktur, krisis finansial dan krisis fiskal. Pemimpin berkuasa lupa bahwa penjajah akan terus melakukan segala cara untuk menguasai kekayaan alam yang berlimpah, agar dapat disedot ke negeri mereka.

Karakter Bangsa yang Terkikis
Indonesia dikenal sebagai negara besar di dunia dan memiliki posisi strategis secara geopolitik dan geoekonomi. Indonesia kaya dengan potensi demografi dan geografi, memiliki ribuan pulau dari sabang sampai merauke, kepulauan Indonesia dipenuhi dengan beraneka ragam potensi alam di permukaan maupun dalam perut bumi. Namun terkikisnya identitas dan jati diri bangsa yang dimulai dari pemimpin membuat martabat sebagai sebuah bangsa berdaulat berkurang maknanya. Bangsa besar dan jaya sebagaimana cita-cita kemerdekaan sepertinya akan terus mengalami degradasi makna.
Kepercayaan dan penghargaan dunia terhadap bangsa Indonesia semakin berkurang karena lemahnya karakter para pemimpin dalam mengedepankan nilai kebangsaan. Elit bangsa justru sebagiannya menjadi pelaku kejahatan terhadap negara seperti korupsi dan berbagai perilaku moral hazard. Di saat yang sama, kebijakan menerima liberalisasi ekonomi menurut hukum pasar (free market) tanpa proteksi, membuat Indonesia kembali harus terjebak dalam permainan bangsa-bangsa pemilik modal.

Negara-negara maju bebas mengintervensi kebijakan ekonomi bangsa-bangsa lemah (third countries) dengan kekuatan modal dan kebijakan melalui lembaga ekonomi dunia seperti World Bank (WB), Internatonal Moneter Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO), atas nama globalisasi dan liberalisme. Kuatnya hegemoni dan cengkeraman kapitalisme global dalam dunia politik dan ekonomi membuat Indonesia yang memang masih lemah tidak mampu keluar dari ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Menurut Francis Fukuyama (2003) istilah liberalisme adalah aktivitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi dan pasar. Tetapi istilah William K.Tabb (2003) menyebutkan globalisasi membentuk kembali rezim perdagangan dan keuangan dunia serta mendefinisikan ulang kesadaran pada tingkat yang paling dekat dan lokal, mempengaruhi bagaimana orang memandang dirinya sendiri, ruang gerak anak-anak mereka dan entitas mereka. Beragam identitas mengalami perubahan akibat kekuatan globalisasi. Realitas ini menunjukan bangsa menghadapi tantangan yang sangat besar, sehingga diperlukan upaya pembangunan karakter dan identitas bangsa dalam berbagai aspek. Pemimpin negeri perlu menyadari tugas pembangunan karakter bangsa ini adalah bagian penting menanamkan spirit nasionalisme menuju amanah besar membangun kedaulatan dan kejayaan bangsa.

Sejarah Terus Berulang
Jika tidak belajar dari sejarah maka keburukan sejarah itu akan berulang pada setiap generasi. Prof. Amien Rais dalam bukunya ‘Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia’ mengungkapkan berulangnya sejarah jatuh bangun negeri ini justru dipicu oleh kebodohan dan mental inlander sebagian elit yang memegang kekuasaan pada masanya. Dahulu negeri kita dijajah oleh VOC dengan dukungan politik, kekuatan militer, lembaga keuangan, media, bahkan dukungan kaum intelektual para orientalis seperti misionaris Snouck Hurgronje.
Kenyataannya sama yang kita saksikan saat ini, walaupun tidak ada penjajahan politik dan militer lagi, kita telah kehilangan kedaulatan ekonomi sampai pada titik yang sangat mencemaskan. Kekuatan korporasi asing (Multinational Corporate) telah menguasai dan mendikte perekonomian nasional hampir secara keseluruhan di berbagai bidang seperti perdagangan, keuangan, perbankan, penanaman modal, kepelayaran dan kepelabuhan, kehutanan, perkebunan, pertambangan migas dan non-migas, bahkan hingga pada kebijakan politik dan pertahanan.

Maka sejarah berulang, kita kembali terjajah dan mungkin akan terus terjajah! Jika tidak ada inisiatif bangkit bergerak. Harus muncul kesadaran untuk belajar dari kejatuhan bangsa dan mengubahnya menjadi cambuk pelecut meraih kemerdekaan dan kedaulatan sejati. Mendidik pemuda agar berjiwa patriot dan tidak bermentalitas inlander. Ini rupanya alasan pemerintah negara-negara macan Asia seperti Jepang, China dan India mendidik anak muda mereka di bawah kesadaran nasionalisme yang tinggi, agar tidak menjadi pemimpin murahan pada saatnya meraih kekuasaan. Indonesia bisa jadi terpojok dengan kesuksesan semu membangun nasionalisme lewat program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di seluruh kelompok masyarakat. Namun seterusnya gagal mendefinisikan model pembangunan karakter bangsa pada para pemudanya justru pada era reformasi yang penuh kebebasan. Akibatnya justru pada era reformasilah kita melihat penjualan aset negara BUMN secara instan dan besar-besaran terjadi. Saat oposisi elit bangsa meneriakkan kemerdekaan dan demokrasi, lalu ketika berkuasa mereka bebas menjual aset negara.
Maka, membaca ulang dan mempelajari sejarah amat penting untuk tidak mengulang kejatuhan bangsa akibat kesalahan elit-elitnya. Those who don’t learn from history, are doomed to repeat it. Siapa pun yang tidak belajar dari sejarah, mereka pasti mengulanginya.

Meretas Jalan menuju Kebangkitan
Di setiap era kepemimpinan selalu terbit mimpi, rakyat selalu merasa zaman baru telah tiba. Dan setiap ujungnya selalu ada huru hara dan malapetaka, elit bertikai rakyat terlibat lalu jadi korban. Euforia era baru akan selalu mewarnai perjalanan bangsa ini, politik bumi hangus yang selalu memulai dan tak mau melanjutkan meskipun baik, mereka yang menguasai perekonomian negeri akan terus berpesta pora tanpa akhir, bahkan mewariskannya. Tinggallah rakyat tetap sengsara hanya dilirik saat pemilu.
Kita perlu membangun karakter bangsa yang kuat dan tidak bermental inlander. Mempersiapkan skenario masa depan bangsa, mempersiapkan pemimpin-pemimpinnya, memperluas jangkauan harapan rakyat, serta keberanian menghadapi segala resiko dalam memperjuangkan perubahan. Indonesia yang baru mengalami euforia demokrasi harus melakukan pendalaman demokrasi (a deepening of democracy) agar tidak terjebak dalam demokrasi prosedural dan transisi berkepanjangan.

Jangan sampai sejarah buruk berulang terhadap bangsa Indonesia tercinta. Agar pemuda yang lahir di jaman ini optimis menghadapi masa depannya (towards a brighter future). Maka kepemimpinan nasional yang menjadi taruhan perubahan, harus menjadi perhatian puncak bagi seluruh rakyat. Negeri ini perlu pemimpin dengan keyakinan tinggi dan penuh kewibawaan meretas jalan menuju kebangkitan modern.

1 komentar:

khamamah mengatakan...

salam kenal mas taufiq dari kammi gresik