In memorian H. Amrullah Mahdi, 6 Juni 1938 – 4 Nopember 2008
Hari yang sangat penting buat saya, 4 Nopember 2008. Dua minggu sebelumnya saya sudah mencari tahu apa saja yang akan terjadi di hari itu dan hari-hari sebelum dan sesudahnya. Pembukaan Muktamar VI KAMMI bertepatan pada hari itu. Masih terasa nuansa Hari sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan sekali lagi tentang masa depan generasi muda, bertepatan pula dengan perhelatan Pemilu di AS - saya agak concern karena baru mengikuti program international visitor leadership terkait kampanye di sana -. Tapi saya dan semua orang tidak mengira, itulah hari ayahku menghadap ke haribaan Sang Pencipta. Aku sangat kehilangan ayahku, sama sekali belum punya firasat sebelumnya.
Yang aku tahu, ayah sakit karena keletihan. Ayah ingin menuntaskan tugas-tugasnya sebelum ‘pergi’. Kebun kopi dan lada yang rimbun dan siap dipetik menjadi saksi kerja keras Ayah. ‘saya ingin terus bekerja dan menuntaskan pekerjaanku sebelum pergi. Aku tahu selain sebagai pendidik, ayah sangat suka bepergian, baginya melihat dunia yang terhampar luas adalah kekayaan yang berharga, ribuan mil telah ayah lalui, ratusan kota dan negeri telah disinggahi, dan itu prasasti berharga bagi kami anak-anaknya.
Puasa Ramadhan terakhir ayah sempurna 30 hari, ditambah puasa Syawal yang kurang sehari lagi. Ayah ber-lebaran di kampung ibunya, menziarahi makam sang ibu di Randangan Enrekang Sulsel - mungkin sebagai penanda bahwa ayah segera menyusul -, sebelum akhirnya jatuh sakit, 3 pekan dirawat dan meninggal ‘dalam perjalanan’. Ayah meninggal dalam perjalanan dari ruang ICU ke ruang perawatan di RS Plamonia Makasar, mungkin seperti keinginan beliau, tak ingin meninggal dalam tatapan dan derai tangisan istri dan anak serta kerabat dekatnya. Hanya kak Arif anaknya yang menyaksikan prosesi ‘sakratul maut’ ayah, sangat tenang, seperti tertidur.
Lebih menyesal lagi, saya merasa banyak menunda kesempatan untuk berlama-lama bersama ayah dan keluarga karena merasa sangat sibuk dengan pekerjaan dan mengurus KAMMI. ‘saya ingin tuntaskan semuanya dulu ayah, selepas Muktamar kita akan punya waktu banyak, saya ingin ayah ke Jakarta lagi’, dan ayah senang dengan itu semua.
Namun rupanya sakit Ayah kembali kambuh, gula darahnya makin menjadi. Lalu dibawa ke RS lagi langsung ke ICU. 5 hari di ruang ICU, berkali-kali Ayah minta dipindah, ingin alat-alat ditubuhnya dicabut. Rupanya Ayah sudah memberi ‘pesan’ akan kepergiannya. Ayahku telah tiada.
H. Amrullah Mahdi dilahirkan di Enrekang Sulawesi Selatan pada 6 Juni 1938 (pas berbeda 42 tahun dengan saya yang lahir 6 Juni 1980). Ayah adalah seorang pendidik, selepas menyelesaikan pendidikan guru di kota Pare-Pare Sulsel beliau mengajar ilmu-ilmu sejarah dan sosial di SMP Islam Malua. Banyak yang mengenalnya selain sebagai guru juga seorang pemain sepakbola yang hebat. Seorang pejabat mantan wakil Bupati di kabupaten mengenalinya sebagai guru yang penuh inspirasi, ramah dan cerdas. Sayang pergolakan pada saat itu membuat ayah tidak dapat meneruskan profesinya sebagai pengajar. Ayah mencari rezeki hingga Kalimantan, Sabah, Brunei, lalu menetap di Kendari Sulawesi Tenggara. Selain itu juga terlibat aktif hingga sempat menjadi pimpinan ormas Muhammadiyah daerah setempat. Sangat rajin membaca, bergaul dengan setiap kalangan dari pejabat hingga orang naif sekalipun. Ayah berlangganan majalah-majalah terbitan Muhammadiyah dan Hidayatullah, mengoleksi buku-buku sejarah Islam, kitab-kitab dan tafsir. Setiap lelah bekerja, pasti ayah di kamar atau di teras depan membaca.
Masa kecil saya adalah kebersamaan yang sangat berarti bersama ayah. Satu yang tak terlupakan, bila musim ulangan (ujian semester) tiba, ayah selalu menyuruh belajar dan tidak boleh bekerja membantu beliau, tidak perlu ke kebun dan lainnya. Hasilnya saya selalu menjadi yang terbaik di sekolah. Saat saya dinobatkan sebagai siswa teladan SMP di Kabupaten, ayah yang mengantarku hingga ke kota Enrekang, menginap di kerabat sekaligus sahabat ayah sebelum berangkat ke Ujung Pandang. Aku pernah merasa malu pada ayah saat saya dapat rangking 20 di SD karena nakal, tapi aku membayarnya dengan menjadi yang terbaik saat di SMU.
Ayah adalah bagian penting dalam hidupku, kami sekeluarga. Beliau inspirasi, satu kolam kehidupan yang cahayanya memantul ke setiap sudut. Aku mendapatkan berita-berita positif dari setiap sahabat, kolega, kerabat, teman organisasi dan bahkan pemuda-pemuda di kampung. Seorang teman di kampung memberi nama anaknya Amrullah untuk mencontoh kehidupan ayah. Walaupun Ayah sebagai manusia juga sarat kekurangan dan kekhilafan. Namun biarkan kami mengenang masa-masa terindah bersama Ayah. Aku ingin membuat cerita lebih banyak untuk mengenang Ayah, I love You Dad. Spirit from my Father is my Life...
1 komentar:
Asw.
Innalillahi wa Inna Ilahi Rojiun.
Semoga Allah memberikan Kesabaran n Ketabahan kepada Antum dalam menghadapi Musibah yang Antum hadapi.
Akhi, Allah telah memberikan yang terbaik untuk Almarhum. Tetapi adala sebuah catatn yang Patut Antum Ambil dari Musibah ini. Allah telah membrikan Kelapangan kepada Almarhum, karena belaiu telah Mendidik Antum untuk menjadi Mujahid yang merindukan Syurga Allah.
Wassalam.
Posting Komentar