Senin, 24 November 2008

SPIRIT FROM MY FATHER


In memorian H. Amrullah Mahdi, 6 Juni 1938 – 4 Nopember 2008

Hari yang sangat penting buat saya, 4 Nopember 2008. Dua minggu sebelumnya saya sudah mencari tahu apa saja yang akan terjadi di hari itu dan hari-hari sebelum dan sesudahnya. Pembukaan Muktamar VI KAMMI bertepatan pada hari itu. Masih terasa nuansa Hari sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan sekali lagi tentang masa depan generasi muda, bertepatan pula dengan perhelatan Pemilu di AS - saya agak concern karena baru mengikuti program international visitor leadership terkait kampanye di sana -. Tapi saya dan semua orang tidak mengira, itulah hari ayahku menghadap ke haribaan Sang Pencipta. Aku sangat kehilangan ayahku, sama sekali belum punya firasat sebelumnya. 

Yang aku tahu, ayah sakit karena keletihan. Ayah ingin menuntaskan tugas-tugasnya sebelum ‘pergi’. Kebun kopi dan lada yang rimbun dan siap dipetik menjadi saksi kerja keras Ayah. ‘saya ingin terus bekerja dan menuntaskan pekerjaanku sebelum pergi. Aku tahu selain sebagai pendidik, ayah sangat suka bepergian, baginya melihat dunia yang terhampar luas adalah kekayaan yang berharga, ribuan mil telah ayah lalui, ratusan kota dan negeri telah disinggahi, dan itu prasasti berharga bagi kami anak-anaknya.

Puasa Ramadhan terakhir ayah sempurna 30 hari, ditambah puasa Syawal yang kurang sehari lagi. Ayah ber-lebaran di kampung ibunya, menziarahi makam sang ibu di Randangan Enrekang Sulsel - mungkin sebagai penanda bahwa ayah segera menyusul -, sebelum akhirnya jatuh sakit, 3 pekan dirawat dan meninggal ‘dalam perjalanan’. Ayah meninggal dalam perjalanan dari ruang ICU ke ruang perawatan di RS Plamonia Makasar, mungkin seperti keinginan beliau, tak ingin meninggal dalam tatapan dan derai tangisan istri dan anak serta kerabat dekatnya. Hanya kak Arif anaknya yang menyaksikan prosesi ‘sakratul maut’ ayah, sangat tenang, seperti tertidur. 

Sehari sebelumnya saya datang dan menanyakan kondisi ayah, tak ada jawaban. Hanya tatapan mata ayah yang sedikit menyipit sambil menyodorkan tangannya. Aku langsung mencium tangan itu dan membelai rambut beliau agar tertidur, napas tersengal dalam bantuan oksigen dan beberapa alat bantu di kepala dan kaki. Aku bersedih sekali tidak bisa berlama-lama karena dalam tekanan pekerjaan, Muktamar KAMMI. Malam hari aku gelisah sekali, bercampur aduk antara tekanan menjelang Muktamar dengan kondisi kritis ayah. Tepat jam dua siang setelah pembukaan Muktamar VI KAMMI usai, dalam perjalanan menemani teman-teman ketua OKP makan siang, sebelum sempat mampir saya mendapat telpon dari kak Arif, ayah telah pergi. Aku tak ingin menangis di mobil, diam dan berusaha tenang, segera saya ke RS dan mendapati satu wajah yang benar-benar bersih dan seperti tertidur pulas, ayah tak ingin diganggu lagi. Aku mencium kening ayah dan menenangkan ibu, sebelum saya juga tak kuasa lagi menahan tangis. Aku menyesal sekali tidak membersamai hari-hari ayah di penghujung hayatnya.

Lebih menyesal lagi, saya merasa banyak menunda kesempatan untuk berlama-lama bersama ayah dan keluarga karena merasa sangat sibuk dengan pekerjaan dan mengurus KAMMI. ‘saya ingin tuntaskan semuanya dulu ayah, selepas Muktamar kita akan punya waktu banyak, saya ingin ayah ke Jakarta lagi’, dan ayah senang dengan itu semua. 

Lebaran Idul Fitri 1429, harusnya saya ke rumah orang tua. Namun menyesal, saya menunda untuk sekalian saja pas menjelang Muktamar KAMMI, juga karena saya menyiapkan pindah ke rumah kontrakan. Ayah sempat merasa sepi, sangat ingin melihat ketujuh anaknya. Saat jatuh sakit kami berkumpul di Makasar. Ayah menanyakan kesiapan kami mengurus jenazah, namun kami anggap itu bukan firasat yang benar, Ayah kembali membaik dan bersiap keluar RS. Kami (Aku, k Sabar dan k Hasyim) pun kembali lagi ke tempat masing-masing, kecuali kedua kakak saya Alen dan Arif bersama Ibu, k Aty dan k Amin yang bergantian menjaga Ayah di rumah. 
Namun rupanya sakit Ayah kembali kambuh, gula darahnya makin menjadi. Lalu dibawa ke RS lagi langsung ke ICU. 5 hari di ruang ICU, berkali-kali Ayah minta dipindah, ingin alat-alat ditubuhnya dicabut. Rupanya Ayah sudah memberi ‘pesan’ akan kepergiannya. Ayahku telah tiada.

H. Amrullah Mahdi dilahirkan di Enrekang Sulawesi Selatan pada 6 Juni 1938 (pas berbeda 42 tahun dengan saya yang lahir 6 Juni 1980). Ayah adalah seorang pendidik, selepas menyelesaikan pendidikan guru di kota Pare-Pare Sulsel beliau mengajar ilmu-ilmu sejarah dan sosial di SMP Islam Malua. Banyak yang mengenalnya selain sebagai guru juga seorang pemain sepakbola yang hebat. Seorang pejabat mantan wakil Bupati di kabupaten mengenalinya sebagai guru yang penuh inspirasi, ramah dan cerdas. Sayang pergolakan pada saat itu membuat ayah tidak dapat meneruskan profesinya sebagai pengajar. Ayah mencari rezeki hingga Kalimantan, Sabah, Brunei, lalu menetap di Kendari Sulawesi Tenggara. Selain itu juga terlibat aktif hingga sempat menjadi pimpinan ormas Muhammadiyah daerah setempat. Sangat rajin membaca, bergaul dengan setiap kalangan dari pejabat hingga orang naif sekalipun. Ayah berlangganan majalah-majalah terbitan Muhammadiyah dan Hidayatullah, mengoleksi buku-buku sejarah Islam, kitab-kitab dan tafsir. Setiap lelah bekerja, pasti ayah di kamar atau di teras depan membaca.

Masa kecil saya adalah kebersamaan yang sangat berarti bersama ayah. Satu yang tak terlupakan, bila musim ulangan (ujian semester) tiba, ayah selalu menyuruh belajar dan tidak boleh bekerja membantu beliau, tidak perlu ke kebun dan lainnya. Hasilnya saya selalu menjadi yang terbaik di sekolah. Saat saya dinobatkan sebagai siswa teladan SMP di Kabupaten, ayah yang mengantarku hingga ke kota Enrekang, menginap di kerabat sekaligus sahabat ayah sebelum berangkat ke Ujung Pandang. Aku pernah merasa malu pada ayah saat saya dapat rangking 20 di SD karena nakal, tapi aku membayarnya dengan menjadi yang terbaik saat di SMU. 

Ayah tidak pernah lupa memberiku sesuatu, terutama nasehat dan uang, sesulit apapun. Ayah yang mengajariku naik podium, berpidato, ceramah, dan mengajari doa-doa menguasai forum. Setiap kali ada ceramah tarwih yang menarik, ayah meminta mencontohnya di depannya. Kadang tugas ceramah Ayah diserahkan kepadaku tanpa persiapan terlebih dahulu, untuk mengajarkan kesigapan. Ayah mencontohkan ketaatan beragama, sholat berjamaah di masjid terutama Subuh, menamatkan bacaan Qur’an terutama bulan Ramadhan. Ayah mengajari bekerja, hidup mandiri dan tahan banting, dan terutama keyakinan.

Ayah adalah bagian penting dalam hidupku, kami sekeluarga. Beliau inspirasi, satu kolam kehidupan yang cahayanya memantul ke setiap sudut. Aku mendapatkan berita-berita positif dari setiap sahabat, kolega, kerabat, teman organisasi dan bahkan pemuda-pemuda di kampung. Seorang teman di kampung memberi nama anaknya Amrullah untuk mencontoh kehidupan ayah. Walaupun Ayah sebagai manusia juga sarat kekurangan dan kekhilafan. Namun biarkan kami mengenang masa-masa terindah bersama Ayah. Aku ingin membuat cerita lebih banyak untuk mengenang Ayah, I love You Dad. Spirit from my Father is my Life...

1 komentar:

Assalamu'alaikum mengatakan...

Asw.
Innalillahi wa Inna Ilahi Rojiun.
Semoga Allah memberikan Kesabaran n Ketabahan kepada Antum dalam menghadapi Musibah yang Antum hadapi.
Akhi, Allah telah memberikan yang terbaik untuk Almarhum. Tetapi adala sebuah catatn yang Patut Antum Ambil dari Musibah ini. Allah telah membrikan Kelapangan kepada Almarhum, karena belaiu telah Mendidik Antum untuk menjadi Mujahid yang merindukan Syurga Allah.
Wassalam.